Jumat, 25 Februari 2011

bersyukur kepada allah

At Tauhid edisi VI/45

Oleh: Yulian Purnama

Syukur secara bahasa,
الشُكْرُ: الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف
“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur adalah berterima kasih.

Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244)
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al Qashash: 28)

Syukur adalah salah satu sifat Allah

Ketahuilah bahwa syukur merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang husna. Yaitu Allah pasti akan membalas setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tanpa luput satu orang pun dan tanpa terlewat satu amalan pun. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy Syura: 23)
Seorang ahli tafsir, Imam Abu Jarir Ath Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah: “Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari, 21/531)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At Taghabun: 17)
Ibnu Katsir menafsirkan Syakur dalam ayat ini: “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 8/141)
Sehingga orang yang merenungi bahwa Allah adalah Maha Pembalas Kebaikan, dari Rabb kepada Hamba-Nya, ia akan menyadari bahwa tentu lebih layak lagi seorang hamba bersyukur kepada Rabb-Nya atas begitu banyak nikmat yang ia terima.

Syukur adalah sifat para Nabi

Senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas limpahan nikmat Allah, walau cobaan datang dan rintangan menghadang, itulah sifat para Nabi dan Rasul Allah yang mulia. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam:
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Nuh adalah hamba yang banyak bersyukur” (QS. Al Isra: 3)

Allah Ta’ala menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik, Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” (QS. An Nahl: 120-121)

Dan inilah dia sayyidul anbiya, pemimpin para Nabi, Nabi akhir zaman, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiallahu’anha:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ، إذا صلى ، قام حتى تفطر رجلاه . قالت عائشة : يا رسول الله ! أتصنع هذا ، وقد غفر لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر ؟ فقال ” يا عائشة ! أفلا أكون عبدا شكورا ”
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no.1130, Muslim no.2820)

Syukur adalah ibadah

Allah Ta’ala dalam banyak ayat di dalam Al Qur’an memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar” (QS. Al Baqarah: 152)

Allah Ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS. Al Baqarah: 172). Maka bersyukur adalah menjalankan perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.

Buah manis dari syukur

1. Syukur adalah sifat orang beriman
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim no.7692)

2. Merupakan sebab datangnya ridha Allah
Allah Ta’ala berfirman:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (QS. Az Zumar: 7)

3. Merupakan sebab selamatnya seseorang dari adzab Allah
Allah Ta’ala berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An Nisa: 147)

4. Merupakan sebab ditambahnya nikmat
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. “ (QS. Ibrahim: 7)

5. Ganjaran di dunia dan akhirat
Janganlah anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah Ta’ala berfirman:
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Al Imran: 145)
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq: “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263)

Tanda-tanda orang yang bersyukur

1. Mengakui dan menyadari bahwa Allah telah memberinya nikmat
Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini.
فعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: مطر الناس على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : «أصبح من الناس شاكر ومنهم كافر، قالوا: هذه رحمة الله. وقال بعضهم: لقد صدق نوء كذا وكذا»
“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda: ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata: ‘Inilah rahmat Allah’. Orang yang kufur nikmat berkata: ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.243)

2. Menyebut-nyebut nikmat yang diberikan Allah
Mungkin kebanyakan kita lebih suka dan lebih sering menyebut-nyebut kesulitan yang kita hadapi dan mengeluhkannya kepada orang-orang. “Saya sedang sakit ini..” “Saya baru dapat musibah itu..” “Saya kemarin rugi sekian rupiah..”, dll. Namun sesungguhnya orang yang bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan. Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh Dhuha: 11)
Namun tentu saja tidak boleh takabbur (sombong) dan ‘ujub (merasa kagum atas diri sendiri).

3. Menunjukkan rasa syukur dalam bentuk ketaatan kepada Allah
Sungguh aneh jika ada orang yang mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan riba, dll. Jauh antara pengakuan dan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Al Imran: 123)
Maka rasa syukur itu ditunjukkan dengan ketakwaan.

Tips agar menjadi orang yang bersyukur

1. Berterima kasih kepada manusia
Salah cara untuk mensyukuri nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Oleh karena itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صنع إليه معروف فقال لفاعله: جزاك الله خيرا فقد أبلغ في الثناء
“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”)

2. Merenungkan nikmat-nikmat Allah
Dalam Al Qur’an sering kali Allah menggugah hati manusia bahwa banyak sekali nikmat yang Ia limpahkan sejak kita datang ke dunia ini, agar kita sadar dan bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)

3. Qana’ah
Senantiasa merasa cukup atas nikmat yang ada pada diri kita membuat kita selalu bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, orang yang senantiasa merasa tidak puas, merasa kekurangan, ia merasa Allah tidak pernah memberi kenikmatan kepadanya sedikitpun. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كن ورعا تكن أعبد الناس ، و كن قنعا تكن أشكر الناس
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur” (HR. Ibnu Majah no. 4357, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

4. Sujud Syukur
Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur ketika mendapat kenikmatan yang begitu besar adalah dengan melakukan sujud syukur.
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله [أبو داود]
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil)

5. Berdzikir
Berdzikir dan memuji Allah adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Ada beberapa dzikir tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah khusus mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
«من قال حين يصبح: اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك، فلك الحمد ولك الشكر. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته» [أبو داود]
“Barangsiapa pada pagi hari berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.”
(Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu)
Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur.” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin)

Cara bersyukur yang salah

1. Bersyukur kepada selain Allah
Sebagian orang ketika mendapat kenikmatan, mereka mengungkapkan rasa syukur kepada selain Allah, semisal kepada jin yang mengaku penguasa lautan, kepada berhala yang dianggap dewa bumi, atau kepada sesembahan lain selain Allah. Kita katakan kepada mereka:
أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا
“Apakah engkau kufur kepada Dzat yang telah menciptakanmu dari tanah kemudian mengubahnya menjadi nutfah lalu menjadikanmu sebagai manusia?” (QS. Al Kahfi: 37)
Allah Ta’ala yang menciptakan kita, menghidupkan kita, dari Allah sematalah segala kenikmatan, maka sungguh ‘tidak tahu terima kasih’ jika kita bersyukur kepada selain Allah.

Dan telah kita ketahui bersama bahwa syukur adalah ibadah. Dan ibadah hanya pantas dan layak kita persembahkan kepada Allah semata. Tidak ada sekutu baginya. Allah Ta’ala juga berfirman:
بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jadilah hamba yang bersyukur” (QS. Az Zumar: 66)

2. Ritualiasasi rasa syukur yang tidak diajarkan agama
Mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk ritual sah-sah saja selama ritual tersebut diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya dengan sujud syukur atau dengan melafalkan dzikir. Andaikan ada bentuk lain ritual rasa syukur yang baik untuk dilakukan tentu sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabat.
Lebih lagi sahabat Nabi yang paling fasih dalam urusan agama, paling bersyukur diantara ummat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mereka jumlahnya puluhan ribu dan diantara mereka ada yang masih hidup satu abad setelah Rasulullah wafat, sebanyak dan selama itu tidak ada seorang pun yang terpikir untuk membuat ritual semacam perayaan hari ulang tahun, ulang tahun pernikahan, syukuran rumah baru, sebagai bentuk rasa syukur mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan amalan (ibadah) yang tidak berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Bukhari no.20, Muslim no.4590)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat-Nya.
اللهم أعني على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك
Allahumma a’inni ‘ala dzukrika wa syukrika wa huni ‘ibadatika
“Ya Allah aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba yang senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik”

[Disarikan oleh Yulian Purnama dari artikel berjudul 'Asy Syukru' karya Dr. Mihran Mahir Utsman hafizhahullah dengan beberapa tambahan. Artikel asli: http://www.saaid.net/Doat/mehran/51.htm]

nikmatnya surga,dahsyatnya neraka

At Tauhid edisi VI/16

Oleh: Yhouga Ariesta M.

Salah satu diantara pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengimani keberadaan Surga (Al Jannah) dan Neraka (An Naar). Salah satunya berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya..” (QS. Al-Baqarah : 24-25).

Mengimani surga dan neraka berarti membenarkan dengan pasti akan keberadaan keduanya, dan meyakini bahwa keduanya merupakan makhluk yang dikekalkan oleh Allah, tidak akan punah dan tidak akan binasa, dimasukkan kedalam surga segala bentuk kenikmatan dan ke dalam neraka segala bentuk siksa. Juga mengimani bahwa surga dan neraka telah tercipta dan keduanya saat ini telah disiapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai surga (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran : 133), dan mengenai neraka (yang artinya), “..yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imran : 131).[1] Oleh karena itulah, Al Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H) menyimpulkan dalam Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, “Surga dan neraka adalah dua makhluq yang kekal, tak akan punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluq lain”[2].

Surga dan Kenikmatannya

Allah Ta’ala telah menggambarkan kenikmatan surga melalui berbagai macam cara. Terkadang, Allah mengacaukan akal sehat manusia melalui firman-Nya dalam hadits qudsi, “Kusiapkan bagi hamba-hambaKu yang sholih (di dalam surga, -pen), yaitu apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati semua manusia”, kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Bacalah jika kalian mau, ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang’ (QS. As-Sajdah : 17)”[3]. Di tempat lain, Allah membandingkan kenikmatan surga dengan dunia untuk menjatuhkan dan merendahkannya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tempat cemeti di dalam surga lebih baik dari dunia dan seisinya”.[4] Kenikmatan surga juga Allah Ta’ala gambarkan dengan menyebut manusia yang berhasil memasuki surga dan selamat dari adzab neraka, sebagai orang yang beroleh kemenangan yang besar. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa’ : 13)[5] Berikut ini akan kami pilihkan beberapa sifat dan kenikmatan yang ada di dalam surga secara ringkas. Semoga Allah mudahkan langkah kita dalam menggapai surgaNya.

Penamaan Surga

Surga (Al Jannah) secara bahasa berarti : kebun (Al bustan), atau kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan. Bangsa Arab juga biasa memakai kata al jannah untuk menyebut pohon kurma. Secara istilah, surga ialah nama yang umum mencakup suatu tempat (yang telah dipersiapkan oleh Allah bagi mereka yang menaati-Nya), di dalamnya terdapat segala macam kenikmatan, kelezatan, kesenangan, kebahagiaan, dan kesejukan pandangan mata. Surga juga disebut dengan berbagai macam nama selain Al Jannah, diantaranya : Darus Salam (Negeri Keselamatan; lihat QS. Yunus : 25), Darul Khuld (Negeri yang Kekal; lihat QS. Qaaf : 34), JannatunNa’im (Surga yang Penuh Kenikmatan; QS. Luqman: 8), Al Firdaus (QS. Al Kahfi : 108), dan berbagai penamaan lainnya.[6]

Pintu-Pintu Surga

Surga memiliki pintu-pintu. Dalam sebuah hadits dari shahabat Sahl bin Sa’ad radhiyallaahu anhu dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, “Di dalam surga terdapat delapan pintu, diantaranya adalah Ar Rayyan. Tidak ada yang memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa”[7]. Dari Utbah bin Ghazawan radhiyallaahu anhu, beliau berkata mengenai lebar tiap pintu surga, “Rasulullah bersabda kepada kami bahwasanya jarak antara daun pintu ke daun pintu surga lainnya sepanjang perjalanan empat puluh tahun, dan akan datang suatu hari ketika orang yang memasukinya harus berdesakan”.[8]

Tingkatan Surga

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya surga terdiri atas seratus tingkat, jarak antara dua tingkatnya seperti jarak antara langit dan bumi, Allah menyediakannya untuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya”[9]. Tingkatan surga yang paling tinggi ialah Firdaus. Nabi memerintahkan ummatnya untuk berdoa memohon Firdaus melalui sabdanya, “Jika kalian meminta pada Allah mintalah kepadaNya Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling utama, dan merupakan tingkatan tertinggi dari surga, diatasnya terdapat ‘Arsy Ar Rahman dan dari Firdaus itulah memancar sungai-sungai surga”.[10]

Bangunan-Bangunan dalam Surga

“Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi” (QS. Az-Zumar : 20). Dari Abu Musa Al Asy’ari dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda, “Sesungguhnya bagi orang-orang mukmin di dalam surga disediakan kemah yang terbuat dari mutiara yang besar dan berlubang, panjangnya 60 mil, di dalamnya tinggal keluarganya, di sekelilingnya tinggal pula orang mukmin lainnya namun mereka tidak saling melihat satu sama lain.”[11]

Makanan Penghuni Surga

“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqi’ah : 20-21). Adapun buah-buahan surga adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), “Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa” (QS. Al Baqarah : 25). Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan keserupaan dalam ayat diatas dengan, “Ada yang berpendapat serupa dalam hal jenis, namun berbeda dalam penamaan, ada pula yang berpendapat saling menyerupai satu sama lain, dalam kebaikannya, kelezatannya, kesenangannya, dan semua pendapat tersebut benar.”[12]

Minuman Penghuni Surga

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari piala (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Insan : 5-6). Ibnu Asyur menjelaskan mengenai kafur “Yaitu minyak yang keluar dari tanaman mirip oleander yang tumbuh di negeri Cina, ketika usianya telah mencapai satu tahun mengalir dari dahannya minyak yang disebut kafur. Minyak tersebut kental, dan apabila bercampur dengan air jadilah ia minuman memabukkan”[13]. Oleh karena itu, “ka’san” dalam ayat ini maksudnya ialah piala yang biasa menjadi wadah khamr, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain. Kata “ka’san” ini juga dipakai dalam ayat, “Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe” (QS. Al Insan : 17) dan maksudnya ialah minuman arak yang telah bercampur jahe, karena bangsa Arab dahulu biasa mencampur arak dengan jahe untuk menghilangkan bau busuk yang timbul darinya.

Dahsyatnya Neraka

Neraka disiapkan Allah bagi orang-orang yang mengkufuri-Nya, membantah syariat-Nya, dan mendustakan Rasul-Nya. Bagi mereka adzab yang pedih, dan penjara bagi orang-orang yang gemar berbuat kerusakan. Itulah kehinaan dan kerugian yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran : 192). Demikian pula firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Az Zumar : 15). Itulah seburuk-buruk tempat kembali. “Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Furqan : 66)

Penamaan Neraka

An Naar, neraka secara bahasa ialah kobaran api (Al lahab) yang panas dan bersifat membakar. Secara istilah bermakna, suatu tempat yang telah disiapkan Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. Al Ahzab : 64). Neraka memiliki beragam nama selain an naar, diantaranya Jahannam (lihat QS. An Naba’ : 21-22), Al Jahim (QS. An Naziat : 36), As Sa’ir (QS. Asy Syura : 7), Saqar (QS. Al Mudatsir : 27-28), Al Huthomah (QS. Al Humazah : 4), dan Al Hawiyah (QS. Al Qari’ah : 8-11)

Pintu-Pintu Neraka

“Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (QS. Al Hijr : 44). Pintu yang dimaksud ialah bertingkat ke bawah, hingga ke bawahnya lagi, disediakan sesuai dengan amal keburukan yang telah dikerjakan, sebagaimana ditafsirkan oleh Syaikh As Sa’diy.

Kedalaman Neraka

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, “Kami bersama Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh. Maka Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bertanya, ‘Tahukah kalian apakah itu?’ Kami pun menjawab, ‘Allah dan RasulNya lebih mengetahui’. Rasulullah berkata, ‘Itu adalah batu yang dilemparkan ke dalam neraka sejak tujuh puluh tahun lalu. Batu itu jatuh ke dalam neraka, hingga baru mencapai dasarnya tadi’. [14]

Bahan Bakar Neraka

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 24). Batu yang dimaksud dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan sebagian besar pakar tafsir dengan belerang, dikarenakan sifatnya yang mudah menyala lagi busuk baunya. Sebagian pakar tafsir juga berpendapat bahwa yang dimaksud batu di sini, ialah berhala-berhala yang disembah, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al Anbiya : 98)

Panas Api Neraka

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihiwa salam bersabda, ‘Api kalian, yang dinyalakan oleh anak Adam, hanyalah satu dari 70 bagian nyala api Jahannam. Para shahabat kemudian mengatakan, ‘Demi Allah! Jika sepanas ini saja niscaya sudah cukup wahai Rasulullah! Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya masih ada 69 bagian lagi, masing-masingnya semisal dengan nyala api ini’”.

Makanan Penghuni Neraka

“Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS. Al Ghasiyah : 6-7). Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, “Itu adalah pohon dari neraka”. Said bin Jubair berkata, “Itu adalah Az Zaqum (pepohonan berduri bagi makanan penghuni neraka)”. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud ialah batu.

Minuman Penghuni Neraka

“Di hadapannya ada Jahannam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumnnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya” (QS. Ibrahim : 16-17). Yaitu mereka diberi air yang amatlah busuk baunya lagi kental, maka merekapun merasa jijik dan tidak mampu menelannya. “Diberi minuman dengan hamiim (air yang mendidih) sehingga memotong ususnya” (QS. Muhammad : 47). Hamiim ialah air yang mendidih oleh panasnya api Jahannam, yang mampu melelehkan isi perut dan menceraiberaikan kulit mereka yang meminumnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka)” (QS. Al Hajj : 20).[15]

Mengingat Nikmat Surga dan Adzab Neraka Sumber Rasa Khusyu’ dalam Hati

Yahya bin Mu’adz berkata, “Rasa takut di dalam hati bisa tumbuh dari tiga hal. Yaitu senantiasa berpikir seraya mengambil pelajaran, merindukan Surga seraya memendam rasa cinta, dan mengingat Neraka seraya menambah ketakutan.” Hendaklah diri kita tidak pernah merasa aman dari adzab neraka. Sulaiman At Taimi pernah berkata, “Aku tidak tahu apa yang tampak jelas bagiku dari Rabbku. Aku mendengar Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS. Az Zumar : 47).[16] Semoga tulisan ini dapat menambah rasa takut dan harap kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memotivasi kita untuk meningkatkan amal shalih, dan menjauhi larangan-laranganNya. [Yhouga Ariesta M.]

_____________

[1] A’lamus Sunnah Al Mansyurah (hal. 134-135). Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullah. Tahqiq : Dr. Ahmad bin Ali ‘Alusyi Madkhali. Cetakan Maktabah Ar Rusyd.
[2] Bagaimana Cara Beragama yang Benar? Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais. Terjemah : Muhammad Abduh Tuasikal, ST. Pustaka Muslim.
[3] HR. Bukhari [3244] dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu anhu
[4] HR. Bukhari [3250]
[5] Al-Yaumul Akhir : Al Jannatu wa An-Naar (hal. 117-118). Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar. Cetakan Daar An-Nafais.
[6] Al Jannatu wa An Naar, Abdurrahman bin Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani rahimahullahu ta’ala, dengan tahqiq : Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah
[7] HR. Bukhari [6/328] dan Muslim [8/32]
[8] HR. Muslim [2967]
[9] HR. Bukhari [6/11] dan Muslim [13/28]
[10]Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kitabus Sunnah [581]
[11] HR. Bukhari [6/318], Muslim [17/175], dan Tirmidzi [6/10]
[12]Taisir Karim Ar Rahman fii Kalam Al Mannan, Syaikh As Sa’di, Muassassah Ar Risalah. Asy Syamilah.
[13]At Tahrir wa At Tanwir, Ibnu Asyur, Mawqi’ At Tafasir. Asy Syamilah.
[14] HR. Muslim 2844
[15] Disarikan dari Tadzkiyah Al Abrar bi Al Jannati wa An Naar. Dr. Ahmad Farid. Maktabah Al Mishkat Al Islamiyah.
[16]“1000 Hikmah Ulama Salaf”. Shalih bin Abdul Aziz Al Muhaimid, diterjemahkan oleh Najib Junaidi, Lc. Pustaka Elba hal. 316-317

buktikan cintamu

At Tauhid edisi VII/06

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang akan diangkat pada tulisan ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin)

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, disahihkan Al Albani)

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

* Membela para sahabat Nabi -radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.” (HR. Muslim)
* Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen), “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)” (Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul)

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan kecerahan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya, “Semoga Allah memberikan kenikmatan dan kecerahan wajah pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Bukhari)

Bid’ah Bukan Bukti Cinta

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta (Lihat tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal). Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya Lihat (Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu).

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa)

Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “ (Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid).

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana di antara lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi)

Penutup

Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin menaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan: Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31) (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah).

Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah. Wallahu waliyyut taufiq. [Muhammad Abduh Tuasikal*]

*Penulis adalah alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta dan aktif menulis di website dakwah, sekarang sedang menempuh program S2 Magister Teknik Kimia di King Saud University. Di samping itu, beliau juga aktif menghadiri majelis ilmu Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.

jagalah shalatmu,wahai saudaraku

Jagalah Shalatmu, Wahai Saudaraku!
Diposting oleh admin ⋅ 1 April 2010 ⋅ Kirim buletin ini Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar

At Tauhid edisi VI/14

Oleh: Rahmat Ariza Putra

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam. Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.

Kedudukan Shalat dalam Islam

Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].

1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu rukun islam

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”[2]

2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]

3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]

4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]

5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala.”[7]

Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu

Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah:

1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah

Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’ala berkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.

3) Pewaris surga Firdaus dan kekal di dalamnya

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman … dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)

4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)

5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari Allah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)

7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)

Hukum Meninggalkan Shalat

Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?

Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]

Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:

Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]

Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya).[11]

Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]

Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]

Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi kita sekalian dan dapat mendorong saudara kita lainnya untuk lebih perhatian terhadap shalat lima waktu. Hanya Allah yang memberi taufik. [Rahmat Ariza Putra][15]

_____________

[1] Point-point ini disarikan dari kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah
[2] HR Muslim no. 16
[3] HR Muslim no. 978
[4] Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52. [ed]
[5] HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi [ed]
[6] HR. Abu Daud. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Masyobih no. 1330 [ed]
[7] HR. Bukhari dan Muslim
[8] Aisirut Tafasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Hafidzhahullahu, Asy Syamilah
[9] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.[ed]
[10] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574 [ed]
[11] Lihat pula penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 7/617, Darul Wafa’.[ed]
[12] Lihat penjabaran kasus ini dalam Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190. [ed]
[13] Lihat Ash Sholah, hal. 12. [ed]
[14] Lihat Ash Sholah, 35-36. [ed]
[15] Tulisan ini telah mengalami pengeditan dan penambahan seperlunya oleh editor (M.A. Tuasikal).

abu merapi bisa berbuah pahala

At Tauhid edisi VI/43

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saat Jum’at dini hari (30/10/2010), kami mendengar kabar langsung dari saudara kami bahwa Gunung Merapi di Jogja kembali bereaksi. Gunung tersebut mengeluarkan hujan abu pekat. Segalanya adalah atas kuasa Allah. Jogja yang begitu asri akhirnya berubah menjadi lautan debu. Walaupun berada di negeri yang jauh, kami pun merasakan bagaimana berat dan susahnya mengalami musibah atau bencana seperti itu karena ke mana-mana jarak pandang pendek, penuh debu dan harus menggunakan masker. Berikut adalah beberapa nasehat berharga yang semoga bisa menjadi penghibur lara.

Pahamilah Takdir Ilahi

Debu atau abu yang terasa tidak menyenangkan, begitu pula bau belerang di jalan-jalan, semua musibah yang ada, itu adalah bagian dari takdir ilahi. Itu adalah sesuatu yang ditakdirkan sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653)

Apa yang Allah takdirkan ini tak ada yang bisa mengelaknya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Engkau harus tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu dan sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, tidak mungkin menimpamu.” (HR. Abu Daud no. 4699, shahih)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” (Al Fawaid, hal. 94)

Musibah Datang Karena Maksiat

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (dosa-dosamu), dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Dari sini, maka sudah sepatutnya direnungkan, boleh jadi hujan abu yang menimpa kita sehingga menyulitkan berbagai aktivitas yang ada sebenarnya karena dosa-dosa kita sendiri. Cobalah lihat bagaimana di masyarakat kita masih mempertahankan tradisi atau ritual yang berbau syirik, sukanya memakai jimat-jimat sebagai penglaris, kuburan begitu diagungkan dan dipuja, dan sebagainya. Begitu pula banyak ritual mengatasnamakan Islam namun tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebar luas di tengah masyarakat dan terus dipertahankan. Belum lagi betapa sering sebagian orang meninggalkan shalat lima waktu yang wajib. Begitu pula zina dan berpakaian yang buka-bukaan aurat sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Inilah barangkali sebab datangnya musibah demi musibah yang menimpa negeri kita, berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan yang lainnya. Sudah seharusnya kita instrospeksi diri akan hal ini dan bersegara bertaubat pada Allah.

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Hadapilah Musibah dengan Sabar

Banyak mengeluh tidak ada gunanya. Mencaci maki sana sini akan bau belerang yang tidak enak ketika hujan abu vulkanik, juga tidak ada manfaatnya. Sikap pertama dalam menghadapi musibah adalah dengan bersabar.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional. (Lihat ‘Uddatush Shobirin, hal. 10)

Yang disebut sabar adalah di awal musibah, bukan belakangan setelah lisan mengeluh dan bersikap emosional sebagai tanda tak ridho/ sabar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.” (HR. Bukhari no. 1283). Tidak perlu mengeluh atas musibah, tahanlah lisan dan anggota badan lainnya dari banyak menggerutu dan merasa tidak suka. Hadapilah musibah dengan sabar.

Ada Kemudahan di Balik Kesulitan

Yakinlah bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di balik kesulitan pasti ada jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5) Ayat ini pun diulang setelah itu (yang artinya), “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6). Qotadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan ayat di atas, lalu beliau mengatakan, “Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya, 24/496)

Kesulitan yang menimpa saat ini, ke mana-mana saja harus menghadapi terbangan debu sana-sini, jarak pandang ketika berkendaraan pun kurang, ini hanya sesaat, bukan sepanjang tahun (insya Allah) dan bukan selamanya, karena pasti ada kemudahan. Sehingga tidak perlu gelisah dan berputus asa.

Cobalah lihat bagaimana Allah memberikan ganti yang lebih baik terhadap suatu musibah karena seorang muslim menyerahkan semuanya pada Allah dan bersabar. Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 918)

Ada Nikmat di Balik Derita

Sebenarnya di balik derita ada suatu yang lebih besar yang dinikmati seorang muslim. Jika menghadapi musibah dengan sabar, di situ ada pahala. Artinya karena abu merapi, misalnya, kita pun bisa meraih pahala jika menghadapi musibas tersebut dengan sabar.

Begitu pula derita bisa jadi nikmat karena dengan adanya musibah, setiap orang diingatkan agar segera kembali pada Allah. Akhirnya ia pun taat, banyak memohon dan berdoa pada Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Di antara sempurnanya nikmat Allah pada para hamba-Nya yang beriman, Dia menurunkan pada mereka kesulitan dan derita. Disebabkan derita ini mereka pun mentauhidkan-Nya (hanya berharap kemudahan pada Allah, pen). Mereka pun banyak berdo’a kepada-Nya dengan berbuat ikhlas. Mereka pun tidak berharap kecuali kepada-Nya. Di kala sulit tersebut, hati mereka pun selalu bergantung pada-Nya, tidak beralih pada selain-Nya. Akhirnya mereka bertawakkal dan kembali pada-Nya dan merasakan manisnya iman. Mereka pun merasakan begitu nikmatnya iman dan merasa berharganya terlepas dari syirik (karena mereka tidak memohon pada selain Allah). Inilah sebesar-besarnya nikmat atas mereka. Nikmat ini terasa lebih luar biasa dibandingkan dengan nikmat hilangnya sakit, hilangnya rasa takut, hilangnya kekeringan yang menimpa, atau karena datangnya kemudahan atau hilangnya kesulitan dalam kehidupan. Karena nikmat badan dan nikmat dunia lainnya bisa didapati orang kafir dan bisa pula didapati oleh orang mukmin.” (Majmu’ Al Fatawa, 10/333)

Akibat derita, akibat musibah, akibat kesulitan, kita pun merasa dekat dengan Allah dan ingin kembali pada-Nya. Jadi tidak selamanya derita adalah derita. Derita itu bisa jadi nikmat sebagaimana yang beliau jelaskan. Derita bisa bertambah derita jika seseorang malah mengeluh dan jadikan makhluk sebagai tempat mengeluh derita. Hanya kepada Allah seharusnya kita berharap kemudahan dan lepas dari berbagai kesulitan.

Nikmat ketika kita kembali kepada Allah dan bertawakkal pada-Nya serta banyak memohon pada-Nya, ini terasa lebih nikmat dari hilangnya derita dunia yang ada. Karena kembali pada Allah dan tawakkal pada-Nya hanyalah nikmat yang dimiliki insan yang beriman dan tidak didapati para orang yang kafir. Sedangkan nikmat hilangnya sakit dan derita lainnya, itu bisa kita dapati pada orang kafir dan orang beriman.

Ingatlah baik-baik nasehat ini. Semoga kita bisa terus bersabar dan bersabar. Sabar itu tidak ada batasnya. Karena Allah Ta’ala janjikan (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/89)

Semoga Allah memberikan kemudahan dalam menghadapi musibah bagi keluarga dan saudara-saudara kami kaum muslimin yang berada di Jogja. Semoga Allah menganugerahkan ketabahan dan kesabaran. Aamiin Yaa Mujibas Sa’ilin. [Muhammad Abduh Tuasikal]

tahukah kamu,dimanakah allah

Ada sebuah pertanyaan penting yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin yang telah mengakui dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya bisa memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang terpelajar pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh Rasulullah sebagai tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana Allah?”. Jika selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah beribadah kepada Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang dimanakah dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama ini. Atau dengan kata lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum benar-benar mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum menyembah Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang tidak dapat beribadah kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan yang benar sebelum mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).

kerugian yang nyata

At Tauhid edisi VII/09

Oleh: Yhouga Ariesta

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasehat menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr : 1-3)

Makna Umum Surat Al Ashr

Allah Ta’ala bersumpah (dengan waktu –pent) bahwa semua manusia berada dalam kerugian dan kebinasaan. “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan amalan hati mereka dan beramal shalih dengan perbuatan mereka. “nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran”, yaitu mengerjakan ketaatan dan meninggalkan keharaman. “Dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”, yaitu bersabar menghadapi musibah, taqdir, dan gangguan orang-orang yang menentang amar ma’ruf nahi munkar. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim, Ibnu Katsir)

Keutamaan Surat Al Ashr

Imam Syafi’i rahimahullah berkata mengenai surat Al Ashr, “Seandainya manusia merenungkan surat ini, niscaya mencukupi bagi mereka”. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim dalam Hushulul Ma’mul, Syaikh Abdullah Al Fauzan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kesempurnaan seorang manusia ialah ketika ia mampu menyempurnakan dirinya sendiri, dan kemudian menyempurnakan orang lain. Maka surat ini meringkas makna seluruh surat dalam Al Qur’an bagi orang-orang yang ingin memperoleh kebaikan.” (Miftah Dar As Sa’adah, dalam Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdul Muhsin Al Qasim). Yang dimaksud kesempurnaan diri sendiri adalah iman dan amal saleh, dan menyempurnakan orang lain ialah dalam wasiat kebenaran (yaitu dakwah) dan wasiat dalam kesabaran. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Surat ini merupakan timbangan amal yang seharusnya setiap mukmin menimbang dirinya sendiri.” (Latha’iful Ma’arif dalam Taisirul Wushul). Yaitu apakah ia telah melaksanakan hal-hal yang disebutkan dalam surat tersebut agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.

Antara Iman dan Ilmu

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal yang paling utama adalah beriman kepada Allah, kemudian jihad” (HR. Muslim). Maka iman merupakan perkara yang paling pokok, dibandingkan amalan-amalan lain dalam hal tingkatan maupun keutamaannya. Adapun iman memiliki dua rukun : [1] mengenal (ma’rifah) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengilmuinya, dan [2] membenarkannya (tashdiq) dengan perkataan dan perbuatan. Tanpa ilmu, hal ini adalah mustahil. Kedudukan ilmu dengan iman laksana ruh dengan jasad, demikian pula pohon iman tidak akan dapat tegak kecuali dengan batangnya, yaitu ilmu dan ma’rifah. (Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnul Qayyim). Iman tidak dapat diperoleh melainkan dengan ilmu, yaitu mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. (Syarh Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah).

Ilmu : Mengenal Allah, Nabi-Nya, dan Islam

Disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, dari Al Bara’ bin ‘Azib dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada mayat dalam kuburnya. Pertanyaan tersebut yaitu : “Siapa Rabbmu?”, “Apa agamamu?” dan “Siapa laki-laki ini yang diutus kepada kalian (untuk membawa risalah Islam – yaitu siapa Nabimu)?” Seorang mukmin akan menjawab dengan tegas bahwa Allah adalah Rabbnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabinya, dan Islam adalah agamanya. Adapun seorang munafiq atau seorang yang ragu akan berkata, “Hah! Hah! Aku tidak tahu! Aku mendengar manusia berkata demikian maka aku pun berkata demikian!” Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, pasti dia akan jatuh pingsan.” (At Tanbihatul Muhtasharah, Syaikh Ibrahim Al Khuraishi)

Mengenal Allah yaitu mengenal-Nya melalui sifat-sifat-Nya yang Allah terangkan dalam Kitab-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang Allah jelaskan dengan perantara Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mencela siapa saja yang tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan, tidak mengenal-Nya dengan sebenar-benar pengenalan, dan tidak mensifati-Nya dengan sifat yang benar” (Ash Shawa’iqul Mursalat dalam Taisirul Wushul).

Mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari nasab beliau, yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf hingga sampai kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mengenal bagaimana kehidupan beliau sebelum menjadi Rasul, bagaimana ketika datangnya wahyu dari Allah, dan bagaimana amal perbuatan beliau semenjak diutus menjadi Rasul. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari sirah/perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya konsekuensi dari mempelajari hal ini adalah menerima segala yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya, berupa petunjuk dan dinul haq. Mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan menuntut ilmu syar’i sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Ilmu Apa Yang Wajib?

Ilmu dibagi menjadi dua jenis. Pertama, ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu. Tidak ada seorang pun yang diberi udzur (dispensasi) atas ketidaktahuannya. Ilmu ini mencakup setiap hal yang agama dapat tegak dengannya. Contoh, rukun-rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib (bagi seorang muslim –pent) untuk menuntut ilmu yang agamanya dapat tegak dengan ilmu tersebut” Beliau kemudian ditanya, “Apa saja contohnya?”. Beliau menjawab, “Yaitu apa saja yang dapat segera menghilangkan kebodohan dari dirinya, semisal (ilmu tentang) shalat, shaum, dan semacam itu.” (Al Furu’ li Ibni Muflih dalam Taisirul Wushul)

Termasuk dalam hal ini mengenal lawannya, seperti mengenal pembatal-pembatal syahadat. Begitu pula mempelajari secara rinci rukun-rukun shalat, syarat-syarat shalat, yang wajib dilakukan dalam shalat, sunnah-sunnah dalam shalat, dan pembatal-pembatal shalat. Perincian ini juga wajib diketahui bagi poin-poin rukun-rukun Islam yang lain.

Kedua, yaitu ilmu tentang hukum- hukum syariah yang dibutuhkan oleh ummat, dan bukan oleh masing-masing individu. Semisal hukum jual beli dan muamalat, hukum terkait wakaf, ilmu waris, dan wasiat, hukum-hukum pernikahan, jinayat. Hukum-hukum tersebut apabila dipelajari oleh sekelompok dari ummat hingga menjadi seorang ‘alim di bidangnya, niscaya mencukupi. Karena tugasnya bagi ummat adalah memutuskan hukum, memberi fatwa, dan mengajarkan ilmu tersebut. Oleh karena itu ilmu ini hukumnya fardhu kifayah, apabila semua individu meninggalkannya mereka akan berdosa. (diringkas dari Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Sholih Fauzan)

Ilmu Membuahkan Amal

Tujuan ilmu adalah untuk diamalkan. Ilmu adalah sesuatu yang dituntut ketika seseorang akan beramal dan merealisasikan ‘ubudiyah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka merealisasikan ubudiyah kepada Allah dilakukan dengan dua perkara : Ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar” (QS. At Taubah : 33). “Al Huda” ialah ilmu yang bermanfaat, sementara “dinul haq” ialah amalan yang shalih yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Disyariatkan pula kepada kita untuk membaca surat Al Fatihah hingga doa yang paling penting dan paling agung, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat” (QS. Al Fatihah : 6). Orang-orang yang diberi nikmat ialah ahli ilmu dan amal. Orang-orang yang diberi murka adalah ahli ilmu namun tanpa amal, yaitu Yahudi. Orang-orang yang tersesat ialah ahli amal namun tanpa ilmu, yaitu Nashara.

Demikian pula datang dari hadits Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia akan ditanya empat hal : kemudian beliau ‘alaihi shalatu wa sallam menyebutkan : tentang ilmunya apa yang telah ia amalkan dengannya?” (dalam hadits riwayat Tirmidzi, hasan shahih).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya. Sekadar apa yang telah ia ketahui, diamalkan. Karena demikianlah dahulu para ulama menjaga hafalan ilmu mereka. Demikian pula tanda seorang yang berilmu diketahui lewat amalannya. Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Senantiasa seorang yang berilmu menjadi orang yang bodoh, hingga ia mengamalkan ilmunya. Jika ia telah beramal dengannya, barulah ia menjadi orang yang berilmu.” (diambil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr)

Keutamaan Dakwah Tauhid

Belumlah cukup bagi seorang manusia untuk sekedar menuntut ilmu dan beramal dengannya. Akan tetapi ia juga dituntut untuk mendakwahkan ilmunya agar ia dapat memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu dakwah kepada syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.”

Oleh karena itu tingkatan tertinggi dalam dakwah yaitu dakwah menyeru kepada tauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Karena tidaklah seluruh Nabi diutus melainkan untuk berdakwah mengajak umat manusia untuk menaati Allah, mengesakannya dalam ibadah, melarang mereka dari syirik dan sarana-sarana yang dapat menjerumuskan mereka dalam kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut” (QS. An Nahl : 36)

Sabar, Kunci Sukses Dakwah

Merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah bahwa mayoritas manusia tidaklah menginginkan kebaikan (pada awalnya), bahkan syahwat, hal-hal yang diharamkan, dan hawa nafsu yang bathil telah menguasai mereka. Maka ketika datang seseorang yang menyeru kepada mereka dan menghendaki kebaikan, sementara mereka sendiri dalam kondisi larut dalam syahwat dan keharaman, terjadilah penentangan baik lewat lisan maupun tindakan. Maka wajib bagi setiap da’i untuk bersabar menghadapi gangguan tersebut, sebagaimana bersabarnya para Rasul menghadapai gangguan yang jauh lebih hebat.

Adakah seorang da’i telah dikatakan sebagai pendusta, tukang sihir, bahkan orang gila? Dilempar dengan batu sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tengah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla? Dilempari kotoran ketika beliau tengah bersujud di sisi Ka’bah? Diancam dengan pembunuhan? Mengalami kekalahan bersama para shahabat dalam perang Uhud sebagaimana dialami Rasulullah hingga dua mata rantai penutup kepala menancap ke pipi beliau? Jika belum, maka tentu kita lebih layak lagi untuk bersabar. (diringkas dari Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al An’am : 34). Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata mengenai ayat ini, “Maka bersabarlah sebagaimana mereka bersabar, niscaya kamu akan mendapat pertolongan sebagaimana mereka mendapat pertolongan” (Taisir Karimirrahman)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufik kepada kita dalam melaksanakan keempat hal tersebut [Yhouga Ariesta*] *Penulis adalah alumnus Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta, aktif mengurus Ma’had, dan sedang menyelesaikan studi S1 di jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.
Print This PostTag: amal, Dakwah, ilmu, sabar, Tafsir

Selasa, 22 Februari 2011

Sejumlah 1.736 Orang Ikuti Ujian CPNS LIPI

Jakarta, 25 Oktober 2010. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah membuka kesempatan kepada insan-insan muda Indonesia untuk berkiprah sebagai peneliti dan tenaga pendukungnya di berbagai satuan kerja LIPI sejak tanggal 1 hingga 15 Oktober 2010 lalu. Sejumlah 1.736 orang pelamar akan mengikuti ujian tulis yang digelar di Istora Senayan Jakarta pada Selasa, 26 Oktober 2010. Dalam pelaksanaan Ujian Tertulis ini akan dihadiri oleh Kepala LIPI dan jajaran pimpinan LIPI terkait.

Dr. Neni Sintawardani, Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian (BOK) LIPI mengungkapkan bahwa total jumlah pelamar yang mendaftar melalui Sistem Informasi Penerimaan CPNS LIPI (SIPC) yang bisa diakses di www.cpns.lipi.go.id sebanyak 15.853 orang. “Dari seluruh jumlah pelamar tersebut setelah melalui beberapa tahapan verifikasi, akhirnya sejumlah 1.736 orang lulus untuk mengikuti ujian tulis,” tandasnya.

Dia memerinci bahwa pelamar yang layak diverifikasi administrasi sebanyak 11.017 orang dan yang lulus verifikasi tersebut sejumlah 8.139 orang. “Pelamar yang lulus verifikasi administrasi masih disaring lagi untuk dipanggil ujian tulis,” sambungnya. Pelamar yang dipanggil ujian tulis ini, lanjutnya, berjumlah sebanyak 2.349 orang.

Dikatakannya, proses selanjutnya para pelamar yang dipanggil ujian tulis tersebut diwajibkan melakukan verifikasi fisik untuk mendapat nomor ujian tulis di Kantor LIPI Jakarta. “Verifikasi fisik telah dilaksanakan pada 22 – 24 Oktober 2010 lalu,” imbuh dia.

Neni menuturkan bahwa hanya pelamar dengan ranking teratas sebanyak 15 kali jumlah setiap formasi yang dipanggil untuk mengikuti ujian tulis. “Jenis dan materi ujian tulis adalah Tes Kompetensi Dasar (TKD) yang terdiri Tes Pengetahuan Umum (TPU), Tes Bakat Skolastik (TBS), Tes Skala Kematangan (TSK) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB) yang terdiri dari Bahasa Inggris serta Pengetahuan IPTEK,” paparnya.

Dia menambahkan bahwa setiap materi memiliki bobot : 20 persen (TPU), 20 persen (TBS), 30 persen (TSK), 15 persen (Bahasa Inggris) dan 15 persen (Pengetahuan Iptek) dalam total nilai. “Pelaksanaan tes tertulis mulai pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB,” katanya.

Neni menjelaskan kembali bahwa LIPI mendapat formasi dari MenPAN sebanyak 179 orang tahun ini. “Jumlah ini terbagi untuk formasi peneliti, teknisi, dan tenaga administrasi dari berbagai tingkat pendidikan (D3, S1, S2, dan S3) dengan berbagai latar belakang kajian ilmu“, paparnya.

Dia menegaskan bahwa perbedaan signifikan penerimaan CPNS tahun ini dengan tahun sebelumnya adalah tidak ada pengiriman berkas lamaran melalui pos. “Jadi, tahun 2010 semua dilaksanakan secara penuh melalui online,” tandasnya.

Ditambahkannya, tahapan proses penerimaan CPNS LIPI terdiri dari verifikasi administrasi (4-17 Oktober 2010), ujian tulis (26 Oktober 2010), ujian psikotes (3 November 2010), wawancara (8-9 November 2010), dan pengumuman pelamar diterima (12 November 2010). “CPNS yang diterima di LIPI akan mulai aktif bekerja pada awal tahun 2011”, ujarnya.

Keterangan lebih lanjut:
• Dr. Neni Sintawardani (Kepala BOK LIPI) : Hp. 0818.209.031

Siaran Pers LIPI, 25 Oktober 2010

alfa centauri

Sekilas data tentang Alpha Centauri

Alpha Centauri merupakan bintang terterang di konstelasi Centaurus, dan terterang ke empat di langit. Nama umumnya adalah Rigel Kentaurus.
Alpha Centauri berjarak 4,35 tahun cahaya dari Matahari.
Alpha Centauri sebenarnya merupakan sistem tiga bintang. Dua bintang terterang, Alpha Centauri A (α Centauri) dan Alpha Centauri B (β Centauri), merupakan sistem bintang ganda. Alpha A dan B saling mengorbit dalam 80 tahun dengan jarak 23 SA (1 Satuan Astronomi = 1 SA = jarak Bumi-Matahari = 150 juta km).
Bintang ke tiga, Alpha Centauri C, berjarak 13.000 SA dari Alpha A dan B, atau sekitar 400 kali jarak Matahari-Neptunus. Jarak ini terlalu jauh sehingga tidak diketahui pasti apakah Alpha C benar-benar terikat pada Alpha A dan B, atau apakah Alpha C akan “keluar” dari sistem tiga bintang ini beberapa juta tahun kemudian.

Alpha Centauri A, B, C
Alpha Centauri A dan B, di "belakang" cincin Saturnus
Alpha Centauri C lebih dekat dengan Matahari daripada dua “saudaranya”. Berjarak 4,22 tahun cahaya dari Matahari, Alpha C merupakan bintang tunggal terdekat dengan Matahari. Karena jarak yang dekat inilah, Alpha Centauri C juga disebut Proxima Centauri (proxima = terdekat, dari bahasa Latin).
Alpha Centauri A adalah bintang kuning bertipe spektrum G2, sama dengan Matahari, dengan luminositas 1,5 luminositas Matahari. Oleh karena itu, temperatur dan warnanya juga sama dengan Matahari. Sedangkan Alpha Centauri B merupakan bintang oranye bertipe spektrum K1, dengan luminositas 0,44 luminositas Matahari.
Proxima Centauri merupakan bintang katai (cebol) merah redup bertipe spektrum M5 – jauh lebih redup, lebih dingin, dan lebih kecil dari Matahari. Proxima benar-benar sangat kecil sehingga astronom tidak menemukannya hingga 1915.

Alpha Cen A merupakan sistem bintang ganda dengan periode rotasi satu sama lain selama 79,9 tahun. Perbandingan luas lintasan dua bintang ini dengan luas Tata Surya kita agak susah dihitung. Jika kita asumsikan luas Tata Surya kita adalah luas lintasan orbit planet-planet terhadap Matahari, dan membandingkannya dengan luas lintasan Alpha Cen A sebagai sistem bintang ganda yang saling mengorbit, maka luas lintasan Alpha Cen A masih lebih kecil.
Luas orbit bervariasi, bergantung 2/3 periode orbit (Hukum Kepler 3). Jadi, bila ditarik lintasan hingga Pluto yang punya periode orbit sekitar 248 tahun, luas lintasan orbit Tata Surya bila dibandingkan dengan luas lintasan Alpha Cen A adalah (248/80)2/3, atau sekitar dua kali lebih luas.
Bila kita memasukkan orbit komet, angka perbandingannya akan lebih besar lagi. Namun, dalam sistem Alpha Cen A mungkin juga terdapat objek-objek lain yang lebih kecil seperti planet dan komet yang mengorbit bintang utama, sehingga luas dua Tata Surya ini mungkin kurang lebih sama.

Kita bisa yakin bahwa bintang lain pun memiliki planet. Memang belum diketahui pasti seberapa stabil orbit suatu planet dalam sistem bintang ganda atau sistem tiga bintang. Planet-planet ini tidak akan mempunyai orbit yang hampir lingkaran seperti planet-planet di Tata Surya kita. Supaya stabil, orbit planet harus terikat pada bintang, agar tidak keluar dari sistem. Planet akan lebih labil dalam sistem bintang ganda atau lebih, kecuali orbit planet tersebut sangat luas bila dilihat dari jauhnya jarak tiap bintang. Namun, dalam kondisi ini, cahaya dari bintang akan cukup redup, dan planet mungkin akan terlalu dingin untuk menyokong kehidupan.

Dalam sistem Alpha Cen A, orbit planet bisa stabil bila planet tersebut terlalu dekat ke salah satu bintang. Dalam kondisi ini, orbit planet mungkin akan cukup stabil yang menyebabkan gravitasi Alpha Cen A seimbang. Kemungkinan lain, planet mengorbit dalam jarak yang sangat jauh dari dua bintang tersebut, seperti orbit Proxima Cen. Sayangnya, meski misalkan ada planet yang mengorbit Proxima, planet ini harus mempunyai lintasan orbit yang sangat sempit karena cahaya Proxima sangat redup. Namun, sistem Alpha Cen masih mempunyai kemungkinan memiliki/menyokong kehidupan.

Mungkin saja, di luar Bumi ini ada makhluk hidup yang bisa hidup di tempat sangat panas, sangat dingin, atau di tempat yang tidak terkena cahaya bintang, atau bahkan mungkin ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa oksigen. Di dasar laut di Bumi pun, yang tidak terkena sinar Matahari, ditemukan makhluk hidup.


Thanks for reading ^_^

Sumber:
nasa

Minggu, 20 Februari 2011

keindahan islam dalam gaya hidup

KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

qudus (yerusallem)

Letak Geografis:
Qudus terletak pada posisi 35° bujur timur dan 31° lintang utara. Salah satu kota tertua di muka bumi. Didirikan pada tahun 3000 S.M.

Keistimewaannya:
Di dalamnya terletak Masjidil Aqsha, mesjid tertua setelah Masjidil Haram. Bukhari dan imam lain meriwayatkan, bahwa Nabi saw. pernah ditanya, “Mesjid apa yang pertama dibangun di muka bumi?” Beliau menjawab, “Masjidil Haram.” Ditanya lagi, “Kemudian mesjid apa?” Beliau menjawab, “Masjidil Aqsha.” Ditanya lagi, “Berapa lama selang waktu antara keduanya?” Beliau menjawab, “Empat puluh tahun.”

Dalam Islam, Masjidil Aqsha mempunyai posisi yang sangat tinggi. Dia adalah kiblat pertama. Nabi melakukan salat dengan menghadap ke situ selama 17 bulan lalu berpindah ke Masjidil Haram.

Dari Masjidil Aqsha Nabi SAW mi’raj menuju langit, setelah sebelumnya diisrakan pada waktu malam dari Masjidil Haram dan mengimami salat para nabi di Masjidil Aqsha.

{mosimage}

Sejarah Islam
Gerakan penaklukan Islam mulai memasuki Qudus setelah kekalahan Romawi pada perang Yarmuk. Dengan ini jalan menuju Baitulmakdis menjadi terbuka lebar. Abu Ubaidah bin Jarrah ra., panglima perang kaum Muslimin ketika itu, meminta khalifah Umar bin Khatab r.a. untuk datang ke kota Qudus karena penduduknya tidak mau menyerahkan kota tersebut kecuali kepada khalifah sendiri. Umar pun datang pada tahun 15 H / 636 M. Dia lalu memberikan jaminan keamanan kepada penduduk, berjanji akan menjaga nyawa, harta dan gereja, serta tidak memperbolehkan bangsa Yahudi untuk hidup bersama mereka dan memberikan kebebasan beragama dengan imbalan membayar jizyah. Dia menolak untuk melakukan salat di gereja Kiamat agar tidak dicontoh oleh kaum Muslimin yang lain. Setelah itu dia pergi menuju Masjidilaksa, dan membersihkan sendiri kotoran-kotoran yang ada di atas Shakhrah, lalu membangun mesjid di pojok selatan.

Dalam perjalanan sejarah Islam, para penguasa kaum Muslimin banyak mencurahkan perhatian yang besar terhadap kota yang penuh berkat ini. Pada masa dinasti Bani Umaiyah, Abdul Malik bin Marwan membangun Qubbah al-Sakhrah (72 H / 691 M), dan Walid bin Abdul Malik membangun Masjidilaksa beberapa tahun setelah itu.

Perhatian itu terus berlanjut pada masa dinasti Abbasiyah hingga negara Islam lemah dan Qudus jatuh ke tangan tertara salib dan menguasainya selama kurang lebih 100 tahun. Kemudian baru dibebaskan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.

Pada masa dinasti Turki Usmani, Qudus terus mendapatkan perhatian yang besar dan tetap aman hingga Turki Usmani lemah dan jatuh. Kota Qudus, kemudian jatuh ke dalam kungkungan bangsa Yahudi dan berlanjut sampai sekarang.

seri mutiara hadist

Simaklah hadits-hadits shahih berikut, insya Allah akan menambah pengetahuan dan semangat kita dalam berislam


{mosimage}

Dari Usman bin Affan r.a. ia mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah saw, pernah bersabda,
‘Tidak seorangpun warga Muslim yang ingin melaksanakan salat fardu, lalu dia berwudu dengan baik, khusuk dengan baik, rukuk dengan baik, kecuali amalan itu akan menghapuskan semua dosa-dosanya yang lalu, selama tidak melakukan dosa besar, hal ini berlaku sepanjang masa’.”
(H.R. Muslim)

Mutiara hadis:
Perhatian untuk melaksanakan salat fardu, mulai dari melakukan wudu dengan baik, khusuk, tamakminah ketika melaksanakan rukun-rukunnya, rukuk dan sujud dengan baik agar salat tersebut diterima oleh Allah swt. sehingga berfungsi menghapuskan semua dosa-dosa kecil yang telah lalu.

{mosimage}

Dari Sahal bin Saad r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda,
“Saya bersama pengampu anak yatim, di surga kelak akan bagini, beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya, masing-masing jari manis dan jari tengah.” (H.R. Bukhari)

Mutiara hadis:

1. Anjuran untuk mengurusi anak yatim dan memelihara hartanya.
2. Hak integrasi sosial tidak hanya terbatas antara kerabat tetapi juga mencakup semua tuna netra, orang yang lemah dan anak yatim.
3. Pengampu anak yatim, mempunyai kedudukan yang istimewa di surga.

{mosimage}

Dari Abu Hurairah r.a. ia mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang hamba yang mengatakan sepatah kata yang dia belum konfirmasikan, akan dapat menjatuhkan dirinya pada kehinaan lebih jauh dari antara timur (dan barat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Mutiara hadis:
Seyogianya setiap orang dapat menjaga lidahnya, karena banyak ucapan yang secara tidak disadari dapat menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Oleh sebab itu, seharusnya setiap perkataan dipikirkan dulu dan dipertimbangkan akibatnya sebelum diucapkan.

aleppo(halab)

Letak Geografis:

Kota Aleppo terletak di Republik Arab Syuriah, dengan posisi 26°39´ bujur Timur dan 35°37´ lintang Utara.

Alasan Penamaannya dengan Halab (Aleppo):

Aleppo adalah sebuah kota tua, konon alasan penamaannya dengan Halab (Aleppo) adalah karena Nabi Ibrahim a.s. ketika lewat di daerah Irak menuju Kan’an beliau memerah susu (dalam bahasa Arab halab = memerah) seekor sapi kepala putih di sebuah bukit di lokasi benteng Aleppo. Dari itu, penduduk selalu mengatakan bahwa Nabi Ibrahim memerah susu seekor sapi kepala putih.

Pada zaman dahulu, Aleppo adalah sebuah dataran tandus, tidak mempunyai tanaman. Namun di sisi lain kegiatan perdagangan mengalami kepesatan, sehingga penduduknya mengalami kesejahteraan.


{mosimage}

Aleppo masuk ke dalam negara Islam:

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a. kota Aleppo berhasil dimasukkan ke dalam Negara Islam Raya. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah untuk berangkat ke daerah Syam untuk menaklukkannya. Abu Ubaidah pun berangkat, dia sampai ke kota Aleppo dan mendapatkan di kota itu markas militer, pagar dan benteng yang kuat. Pasukan Abu Ubaidah mengepungnya selama lima bulan, setelah itu dia mengirim surat kepada khalifah minta izin untuk melepaskan kepungan. Khalifah mengizinkan dengan catatan pasukan tetap berada di tempat dan tidak mengadakan perusakan sampai kota itu dapat ditundukkan. Di pihak lain, Khalifah mengirimkan bala bantuan dalam bentuk tentara dan pasukan berkuda. Dengan izin Allah, mereka berhasil memasuki benteng setelah lebih dahulu berhasil membunuh penjaganya yang sedang mabuk-mabuk. Setelah itu mereka membuka pintu kota tersebut dan tentara Islam pun dapat menduduki kota Aleppo pada tahun 14 H./ 636 M.

Aleppo di masa pemerintahan Bani Umaiah dan Abbasiah:

Di masa pemerintahan Dinasti Umaiah, kota Aleppo secara relatif mengalami masa stabil, namun sebaliknya, di masa pemerintahan Dinasti Abbasiah, kota Aleppo merupakan ajang pertarungan antara bani Abbas dengan bani Tholun. Keadaan seperti itu berlangsung sampai Dinasti Hamdan berhasil menguasai Syam. Ketika itu Saifuddaulah Al Hamdani mengumumkan Aleppo sebagai ibu kota kerajaan. Bani Hamdan pada mulanya adalah pendukung kuat Bani Abbas. Sepeninggal Saifuddaulah pemerintahan di Aleppo diteruskan oleh anaknya, Abul Ma’ali Syarif yang banyak mengadakan renovasi dan pembangunan gedung-gedungnya.

Aleppo di bawah kekuasaan Romawi, Fatimiah dan Seljuk:

Pada abad kesepuluh masehi, Emperium Romawi datang menggempur dan mengadakan perusakan besar-besaran di Aleppo. Hal yang sama juga dilakukan oleh dinasti Fatimiah dan Seljiuk.

Serangan Tentara Salib dan Pengusiran mereka:

Setelah itu tentara Salib datang menggempur kota Aleppo dan mengadakan perusakan besar-besaran di kota itu, mereka menutup semua jalan-jalan pedagangan yang menghubungkan kota itu dengan kota lain.

Khalifah Imaduddin Zinki berhasil merebut kembali kota Aleppo dan mengusir tentara salib dari sana. Di masa pemerintahan khalifah Imaduddin Zinki inilah kota Aleppo mengalami kesejahteraan ekonomi dan pembangunan.

Ketenangan tidak berlangsung lama, karena tentara Salib selalu mengadakan agresi dan mengepung kota itu beberapa kali, namun tidak berhasil. Agresi tersebut berakhir dengan datangnya banjir sungai yang menghanyutkan kamp-kamp militer mereka, sehingga mereka terpaksa mundur ke daerah Antiokia.

Gempa melanda Aleppo:

Pada tahun 533 H./ 1139 M. dan 565 H./1170 M. gemba bumi yang dahsyat menggoncang kota Aleppo, yang merusak bangunan-bangunannya, kemudian baru direnovasi.

Kejadian Penting:

Setelah itu silih berganti, Aleppo masuk ke bawah kekuasaan Salahuddin Al-Ayubi, kemudian berpindah ke bawah kekuasaan Mamalik, seterusnya ditundukkan oleh Tartar di bawah pimpinan Timurlenk. Ketika penduduk hendak pergi mengungsi, pintu kota tersebut sempat padat, musuh di belakang mereka datang membunuhi dan menangkapi mereka, sehingga banyak di antara mereka meninggal dunia. Pasukan Timurlenk mengadakan perusakan besar-besaran terhadap mesjid-mesjid, sekolah-sekolah dan rumah-rumah penduduk.

Aleppo di bawah kekuasaan Turki Usmani:

Setelah Aleppo masuk ke bawah kekuasan Turki Usmani, kota tersebut mengalami renovasi, keamanan dan kestabilan pun kembali, sehingga kota tersebut kembali jaya dan maju. Fungsinya sebagai pusat perdagangan dan pintu lalu lintas ke negara-negara Asia berlaku kembali. Dinasti Usmani berkuasa di Aleppo sekitar empat abad walaupun diselingi sebentar oleh pendudukan Ibrahim Pasa (1246 H./ 1831 M. sampai 1255 H./1840 M.). Dinasti Usmani berakhir di Aleppo dengan berakhirnya perang dunia pertama.

Aleppo di bawah protektorat Prancis:

Sejak Syuriah, termasuk Aleppo ditetapkan sebagai daerah protektorat Prancis, rakyat terus mengadakan perlawanan sampai terlaksananya evakuasi tentara Prancis dan Inggris pada tahun 1365 H./ 1946 M. Protektorat tersebut berakhir dengan peperangan sengit.

Objek Budaya:

Kota Aleppo, sepanjang sejarahnya terkenal dengan objek budaya dan peninggalan yang banyak
yang berusia sangat tua, seperti benteng, mesjid Umawi. Di samping itu kota Aleppo juga terkenal dengan para ilmuanya dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Sabtu, 19 Februari 2011

bila dunia terasa memusingkanmu

“Bila Allah membuat alam dan makhluk serba memusingkanmu, sungguh itu suatu panggilan agar kau cari ketenangan pada kebersamaan dengan-Nya.



Bila Dia memberi musibah, Dia ingin engkau kembali kepada-Nya dengan pasrah dan berserah.



Bila Dia memberimu ujian, Dia ingin engkau mencari-Nya untuk meminta pertolongan.



Bila Dia memberimu kesempitan, Dia ingin engkau kembali kepada-Nya untuk mencari kelapangan.”



(Imam Ibn Atha’illah As-Sakandari)





(Sumber:http:/suluk.blogsome.com)



Sahabatku,

Boleh jadi masalah yang membelenggu kita,

Tumpukan hutang yang memhimpit dada,

Kesedihan yang memeras air mata,

ataupun

Kegalauan yang menyelimuti jiwa,



Hakikatnya,

Itu hanyalah pangilan agar kita kembali pada-Nya.



Saudaraku, malam ini

Mendekatlah kepada-Nya, Berlarilah menuju-Nya,

Sambutlah pelukan hangat-Nya, Puaskan kerinduan-Nya

Sungguh Dialah Zat yang paling besar cintanya padamu.



Biarlah bintang dan rembulan menjadi saksi

Akan indahnya cinta

Antara seorang hamba dengan Rabbnya.

mari berpikir positif

Sudah tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan berpikir positif badan kita menjadi sehat, tidak sakit-sakitan, atau bahkan sukses dalam bisnis. Memang dengan berpikir positif urat-urat saraf kita menjadi tidak tegang, sehingga pikiran menjadi jernih, mudah memutuskan hal-hal yang penting. Selain berpikir positif, senyum juga sangat besar pengaruhnya terhadap diri kita. Saya sering menganjurkan teman-teman meluangkan waktunya untuk tersenyum.

Orang yang sedih bisa gembira dengan senyum. Orang marah akan reda jika bisa tersenyum. Jika tidak bisa tersenyum, dipaksakan untuk tersenyum dengan cara menarik ujung bibir seperti orang yang sedang tersenyum. Dengan cara tersebut sudah terbukti mengendorkan urat saraf yang tegang.

Dalam buku The Secret juga diungkapkan bahwa pikiran positif menjadi dasar utama dalam mencapai kesuksesan. Bahkan orang yang sakit pun akan sembuh hanya dengan berpikir positif. Tetapi mudahkah kita untuk berpikir positif?

Pertanyaan tersebut tentu jawabannya akan berbeda-beda tergantung siapa yang menjawab. Ketika saya belum mengenal seseorang, saya akan mudah untuk berpikir positif, tetapi ketika saya sudah mengenal sampai kulit-kulitnya, agak susah untuk berpikir positif. Contohnya ketika salah seorang teman mempunyai kebiasaan suka membuang sampah sembarangan, atau setiap kali ada dia tempatnya menjadi kotor, saya akan sulit sekali berpikiran bahwa dia adalah orang yang selalu menjaga kebersihan. Tetapi saya mengakalinya dengan berkata dalam hati “Oo mungkin dia belum tahu pentingnya kebersihan”.

Yang lebih saya tidak suka dan sulit sekali berpikir positif adalah ketika melihat orang yang suka mengeluh. Sedikit-sedikit mengeluh. Menghadapi masalah kecil terasa besar, dan seakan-akan sudah tidak ada jalan keluarnya. Jika melihat orang seperti ini cepat-cepat saya tinggal pergi, takut terkena virus mengeluhnya.

Jadi, dengan berpikir positif dan senyum, hati menjadi tenang, pikiran menjadi jernih, saraf tidak tegang, dan bekerja akan menjadi lebih lagi. Mari kita mulai hari-hari dengan berpikir positif dan senyum serta syukur!